Citra Merek: Nivea itu lembut dan biru

Kata ‘citra’ biasanya menunjukkan ‘gambaran’ yang dimiliki seseorang tentang sesuatu atau seseorang, atau dalam makna khusus, ‘pendapat stereotipikal publik umum tentang seseorang atau sesuatu’. Gambaranvisual ini mungkin didasarkan pada ciri konkrit obyek atau orang tertentu serta segala jenis aspek imaterial atau aspek tak relevan.

Kita kerap telah membentuk citra tentang sesuatu atau seseorang walau belum bersentuhan dengan obyek atau subyek tadi. Gardner dan Levy mungkin penulis pertama yang memakai istilah ‘citra’ dalam konteks pemasaran. David Ogilvy akhirnya jadi perintis yang menekankan pentingnya citra dalam iklan. Aspek penting pada citra merek adalah gambaran mental yang dimiliki konsumen terhadap produk atau merek. Citra merek didefinisikan sebagai berikut:

Citra merek adalah gambaran mental subyektif tentang merek yang sama-sama dianut sekelompok konsumen.

Tergantung sejauh mana konsumen terekspos komunikasi pemasaran dan pengalaman konsumsi mereka dengan produk itu, visualisasi citra merek biasanya cukup rinci.

 

Komponen citra merek

Terdapat tiga komponen citra merek: konten, favorabilitas, dan kekuatan. Komponen-komponen ini biasanya tercermin pada hasil pengukuran citra melalui uji diferensial semantik. Dalam penerapan teknik pengukuran ini, konsumen diminta memberi evaluasi terhadap skala bipolar yang berbeda (seperti ‘bermutu rendah versus bermutu tinggi’ dan ‘kuno versus modern’). Setiap skala terdiri dari lima atau tujuh posisi. Dalam memproses hasilnya, posisi di bagian kiri biasanya bernilai negatif, posisi tengah bernilai nol dan posisi terjauh di sebelah kanan ditandai positif. Pada Bagan ditampilkan skala tujuh-poin, dengan kutub ‘kuno versus modern’. Berdasarkan teknik pengukuran ini, tidak hanya konten citra merek yang ditentukan (apakah merek dirasa kuno atau modern), tapi juga favorabilitas (negatif versus positif) dan derajat kekuatan (sejauh mana asosiasi dirasa negatif atau positif).

            Konten citra merek mengacu pada asosiasi yang mungkin dibangkitkan oleh sebuah merek. Sebagian merek membangkitkan banyak asosiasi, sementara lainnya sedikit saja. Asosiasi bisa saja terkait dengan kognisi (pengetahuan) dan perasaan, namun bisa juga, misalnya, terkait dengan bau dan bunyi.

Penelitian citra merek pada sejumlah merek margarin di Belanda antara lain menunjukkan bahwa ketika ditanya asosiasi merek, maka konsumen lebih banyak menyebutkan aspek-aspek dari pesan iklan. Namun, dalam citra perlu dibedakan antara manifest content dan latent content. Asosiasi yang bisa diverbalkan secara langsung oleh konsumen membentuk manifest content citra merek. Latent content citra merek mengacu pada asosiasi yang oleh konsumen tidak langsung disebutkan, tapi bisa diukur dengan teknik tertentu (misalnya, diferensial semantik pra-desain). Jika kemudian peneliti ‘membantu’ konsumen dengan menanyai pendapat mereka atas sejumlah dimensi yang tidak mereka sebut secara spontan, maka ternyata konsumen memiliki citra merek yang jelas dan mampu menggambarkan profil merek.

            Pemasar bisa memilih berbagai metode untuk mengukur citra bergantung pada sedalam apa citra telah menancap di benak konsumen. Sejauh mana elaborasi citra merek juga bergantung pada pilihan positioning. Merek yang diposisikan secara fungsional diharapkan bisa membentuk asosiasi yang lebih konkret ketimbang merek yang diposisikan secara ekspresif.

            Mengenai konten merek, kita bisa bedakan antara asosiasi merek material dan imaterial. Asosiasi merek material bisa dibagi menjadi asosiasi yang mengacu pada sifat aspek material tertentu (seperti keandalan dan keawetan) dan asosiasi yang mengacu pada ada atau tiadanya atribut tertentu. Kategori pertama terkait dengan karakteristik yang sama-sama dimiliki semua produk di kategori itu, tetapi sifatnya bisa berbeda untuk masing-masing merek. Sebagai contoh, semua kamera punya lensa, tapi merek Hasselblad membentuk asosiasi dengan lensa berkualitas tinggi.

            Aspek lain asosiasi merek material adalah asosiasi yang menunjukkan ada atau tidak adanya atribut tertentu. Merek Citroën, misalnya, akan membangkitkan asosiasi pada sistem suspensi yang unik. Asosiasi merek imaterial mengarah pada aspek-aspek yang tak terkait dengan produk (fisik). Contoh-contohnya bisa dikaitkan dengan gaya hidup atau dunia pengalaman tertentu.

            Pada dasarnya, favorabilitas citra merek bisa memiliki dua nilai: negatif  atau positif. Subyeknya disini bukanlah konten aktual asosiasi itu, tapi ‘perasaan’ yang dialami konsumen pada setiap asosiasi (dan lalu khususnya arah perasaannya: negatif atau positif). Misalnya, mobil-mobil buatan Alfa-Romeo dulu diasosiasikan dengan karat (asosiasi negatif) sekaligus dengan daya akselerasi tinggi (asosiasi positif).

Kekuatan citra merek terkait dengan sejauh mana asosiasi dihubungkan dengan merek itu (‘saya mengasosiasikan Nivea pada kelembutan dan warna biru; meski asosiasi pada kelembutan lebih kuat’). Istilah umum untuk favorabilitas dan kekuatan adalah reputasi. Reputasi sebuah merek dikaitkan dengan sejauh mana merek bisa menimbulkan asosiasi positif dan kuat. Kata ‘reputasi’ sering dipakai guna menunjukkan kesan global sebuah merek. Merek dengan reputasi sangat positif umumnya adalah merek-merek yang didasarkan pada strategi prestis (lihat, misalnya, Rolls-Royce, sebuah merek dengan reputasi sangat bagus di bidang mesin mobil maupun mesin pesawat).::

2 Komentar

  1. sip…..mantap

  2. mulu yang anehhhh…..


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar