Segmentasi Demografis, Psikografis, dll.

Barangkali kita berfikir bahwa “Pasta gigi ya pasta gigi” dan kita semua memakainya dalam jumlah sama

Pepsodent

Pepsodent

dan dengan alasan yang sama pula.  Namun, sekalipun dalam pasar yang ‘sama’, terdapat segmen-segmen khas yang membeli secara berbeda dan dengan alasan yang berlainan pula, sehingga mereka patut dirancangkan bauran pemasaran tersendiri. Hal ini adalah alasan penting adanya segmentasi pasar.

Segmentasi benefit adalah tataran menengah di antara 3 tataran pendekatan segmentasi:

·        Pada tataran umum, segmentasi didasarkan pada ciri konsumen yang sifatnya relatif permanen misalnya: usia, jenis kelamin,  pendapatan, kelas sosial, pekerjaan, jumlah anggota keluarga (demografis) dan gaya hidup (psikografis). Ciri-ciri ini bersifat sama bagi produk, jasa dan situasi penggunaan yang berbeda.

·        Pada tataran spesifik-domain, jika berbagai kelas produk dan domain konsumsi, (misalnya: saat sarapan, mencuci baju, bepergian) ikut dipertimbangkan, maka segmentasi bersifat domain spesifik. Segmentasi benefit sikat gigi merupakan contoh pendekatan domain-spesifik. Kita membahas segmentasi benefit nanti untuk mengupas bagaimana pendekatan berdasar ‘penggunaan’ diperluas hingga menjadi berdasar ‘situasi’ (atau situasi penggunaan).

·        Tataran spesifik: jika konsumen disegmentasi, misalnya ke dalam pengguna berat dan ringan (heavy and light users) merek tertentu, ke dalam kategori perokok Marloboro dan Marlboro Menthol, maka ini disebut segmentasi pada tataran spesifik.

Segmen Benefit Konsumen Pasta gigi

 

Segmen Inderawi

Segmen  Pergaulan

Segmen  Pencemas

Segmen  Mandiri

Benefit utama

Rasa (flavour),

Tampilan produk

 

Gigi putih

cemerlang

Pencegahan gigi berlubang

Harga

 

Faktor Demografis

Anak-anak

 

Remaja,

Keluarga

Lebar

Pria

Faktor Gayahidup

Hedonistik

Aktif

Konservatif

Pentingkan value

 

Contoh Merek

Darlie,

Codomo

Close Up,

Smile Up

Pepsodent, Sensodyne

Ciptadent, Formula

 

Variabel segmentasi bisa bersifat obyektif atau subyektif. Variable obyektif bisa diukur tanpa keraguan, misalnya usia dan jenis kelamin, atau mungkin bisa diambil dari daftar transaksi, misalnya checkout scaning data. Sedangkan variable subyektif perlu diukur terhadap responden atau menyangkut ‘konstruk mental’, misalnya sikap dan niatan.

Ide segmentasi konvensional menyangkut pengembangan kriteria segmentasi untuk menentukan segmentasi pasar dan membahas variabel-variabel yang lazim dalam segmentasi. Gagasan tak konvensional menganalisis lebih luas tren-tren baru dalam segmentasi. Pemasar kini getol mengidentifikasi dan membidik segmen-segmen yang makin sempit. Berkat aplikasi teknologi dan basis data informasi, jalan menuju individual targeting, seperti dalam direct marketing, kini makin menggejala. Ada masalah etika di sini, misalnya penggunaan basis data yang rinci dan ekstensif terhadap konsumen sebagai individu, bukan sekedar sebagai kelompok.

Variabel segmentasi demografis makin tak memadai lantaran ketidakmampuannya menjelaskan dan kapabilitas targeting yang terlalu luas. Tren penggunaan variabel psikografis dan geodemografis ikut mendorong ditinggalkannya pemakaian variabel demografi semata sehingga pemasar kini mampu memahami konsumen sasaran lebih detil, bahkan secara individual, dan mampu membidik mereka dengan spesifik.

Diferensiasi produk menjadi jawaban bagi segmentasi dan targeting. Diferensiasi produk bergantung pada kemampuan perusahaan untuk memproduksi produk ini dan meraih akses ke saluran-saluran pemasaran untuk menjangkau konsumen sasaran.

Ilustrasi pasta gigi di atas menggambarkan aplikasi targeting berbagai kelompok konsumen dengan bauran pemasaran khas. Namun, di masa lalu tak selalu demikian. Kata-kata Henry Ford yang terkenal dalam industri mobil tentang model T, yaitu, bahwa konsumen bisa memilih warna apa saja asalkan hitam, mencerminkan paradigma mass-marketing saat itu. Penghematan skala ekonomi diraih lewat produksi massal, yaitu pabrik yang memproduksi produk standar untuk pasar yang nampak homogen. Dalam makalah Wendell Smith, orang pertama yang menggagas segmentasi, ditulis tentang perkembangan segmentasi. Pada saat produksi dan konsumsi massa berlanjut, banyak perusahaan berusaha meraih keunggulan kompetitif dan mengembangkan strategi diferensiasi produk, sebagaimana deskripsi Smith: “Diferensiasi produk menyangkut manipulasi permintaan di bawah kendali produsen”.  Diferensiasi produk menawarkan beragam produk pada pembeli, ketimbang appeal kepada segmen yang berbeda-beda.

Hal ini menjadi kunci diferensiasi produk karena, meski kadang hasilnya nampak sama dengan segmentasi, keragaman dalam produk, citra, distribusi, dan atau promosi ditawarkan kepada pasar. Mungkin perbedaan semacam  itu betul-betul mampu menarik kelompok-kelompok berbeda di pasar keseluruhan, namun jika itu pun terjadi maka hal itu hanya kebetulan belaka. Segmentasi sejati diawali dengan mengidentifikasi kebutuhan dan kebiasaan segmen-segmen dan lalu merancang bauran pemasaran khas agar mampu lebih menyesuaikan tawaran pemasaran dengan perilaku konsumen.

Diferensiasi produk merepresentasikan orientasi produk yang lebih merupakan sikap ‘Inside-out’. Pendekatan berorientasi pada pasar justru dimulai dengan pemahaman pasar dan identifikasi kebiasaan serta kebutuhan pasar, sehingga lebih bersifat ‘outside-in’. Segmentasi pasar mendorong pembagian pasar menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Namun alih-alih melihatnya sebagai proses pemecahan, lebih bermanfaat menganggapnya sebagai proses pengelompokan. Dengan cara ini, segmentasi membagi-bagi konsumen ke dalam kelompok sejauh hal itu bermakna sehingga bisa disasar dengan bauran pemasaran yang khas.

Namun sejauh mana perbedaan-perbedaan itu mesti tercermin dalam segmentasi jadi perdebatan hingga kini. “Fragmentasi” atau “over-segmentasi” bisa menciptakan segmen-segmen yang terlalu kecil dan tidak menguntungkan sehingga menjadi tidak efisien.

 

1 Komentar

  1. Ya dech bgus


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar